Minggu, 19 Oktober 2014

KULINER

Lempeng Telo

Criping Gadung

Criping Tela

Criping Pisang

GEJOG LESUNG


Gejog Lesung adalah kesenian menabuh Lesung sehingga menciptakan alunan yang perkusif untuk mengiringi regu penyanyi, sehingga terdengar komposisi musik yang unik.

Gejog Lesung terdiri dari 5-15 orang tergantung dari kesepakatan masing2 kelompok. Setiap kelompok akan menunjukan kekompakan dan keserasian alunan Lesung yang perkusif dengan nyanyian khas Jawa yang sangat indah.




Pemain Gejog Lesung terdiri dari Ibu-Ibu yang mengenakan pakaian adat Jawa, yaitu Kebaya.




Zaman dahulu, pertunjukan Gejog Lesung dilakukan sebagai tanda bahwa akan adanya acara-acara di desa. Dewasa ini, Gejog Lesung menjadi daya tarik wisata yang memiliki nilai budaya yang tinggi. beberapa ketukan Gejog Lesung, antara lain : Rujak Sente, Ceplesan dan Kebo Ilang.

REOG KUDHO SEMPONO




Reog Kudho Sempono adalah Reog yang khas dari Padukuhan Blimbing. Pemainnya terdiri dari 20 orang. Kesenian Reog ini diketuai oleh Bapak Prapto Winarno.

Reog Kudho Sempono biasa dilaksakan pada hari besar dan acara-acara Desa. Karena Reog ini merupakan Reog khas dari Padukuhan Blimbing, Desa Girisekar, pasti akan berbeda dan memberikan kesan tersendiri dibandingkan dengan Reog yang berada di daerah lain.


JATHILAN




Jathilan merupakan salah satu atraksi budaya dari Padukuhan Blimbing. Jathilan yang berada di Padukuhan Blimbing ini dinamakan Jathilan Turonggo Setro. Jumlah anggota dan pengiring musik adalah 25 orang.




Jathilan dilaksanakan pada saat hari besar nasional dan saat dilaksanakan acara desa. Jathilan ini diketuai oleh Bapak Marjio yang merupakan penduduk asli di Padukuhan BlimbIng.


TELAGA THOWET



Thowet merupakan singkatan dari Etho tur Awet. Telaga Thowet dibangun sejak tahun 1928 dan semenjak itulah telaga thowet sebagai sumber kehidupan. Pada tahun 1970 kedalaman telaga Thowet diperkirakan 50 meter. Semula telaga ini merupakan hamparan sawah, yang kemudian dibuat menjadi lumpur padat dengan memasukkan banyak kerbau ke lahan tersebut. Luweng (rongga di tanah) ditutup dengan pengaron (alat masak dari bamboo) agar air tidak merember. Antara tahun 1933-1935 lahan itu telah mampu menampung air dan diresmikan menjadi telaga melalui upacara slametan dengan mengundang tayub. Selama dibangun hingga sekarang, telaga Thowet tidak pernah surut meskipun pada musim kemarau.

Telaga Thowet ini sangat dijaga ke-aslian nya oleh warga Girisekar, sebagai contoh warga telah menetapkan peraturan meskipun tidak tertulis, seperti boleh memancing namun hanya memakai pancing dari bambu. Meskipun tidak tertulis namun pengunjung telaga Thowet sangat mematuhi peraturan yang dibuat. Telaga Thowet ini dihuni oleh beberapa ikan dengan ukuran yang cukup besar. Seperti, ikan lele, mujair, dan nila.



Menurut cerita, ditelaga Thowet ini dulunya tidak ada yang menebar benih ikan, melainkan ikan dari suatu telaga yang sudah surut berpindah sendiri ke telaga Thowet ini. 


MASJID SUNAN KALIJAGA



Dahulu, pada saat Sunan Kalijaga menemani di Pertapaan Kembang Lampir, Sunan Kalijaga berjalan menuju arah barat dan mendirikan sebuah masjid. Masjid ini didirikan sebagai tujuan agar agama Islam dapat berkembang dengan pesat di sekitar area Pertapaan Kembang Lampir. 

Tentunya, Masjid ini Sudah mengalami renovasi. Walaupun demikian, kearifan dan wibawa dari Masjid Sunan Kalijaga tidak berkurang. 

Warga Di daerah Padukuhan Blimbing, Desa Girisekar sering melakukan ibadah dan kegiatan Desa di Masjid Sunan Kalijaga.

SUMUR DAN TEMPAT SHOLAT SUNAN KALIJAGA




Sunan Kalijaga merupakan sesepuh atau sebagai penasehat yang dimana setiap saat tempat untuk meminta pertimbangan akan segala bentuk persoalan dari Sultan maupun kerabat kerajaan.
Sunan Kalijaga sering menemani atau mendampingi orang yang sedang bertapa di pertapaan Mbang Lampir walaupun Sunan Kalijaga sekali-kali Nampak sekali-kali tidak, lalu Sunan Kalijaga pergi ke molodhoyo untuk Sholat. Kemudian Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya ke tanah agar mendapatkan air untuk berwudhu. Kemudian beliau berwudhu disitu dan melaksanakan sholat sebelah sumur tersebut.

Sumur dan Tempat Sholat Sunan kalijaga terletak di dusun Blimbing, desa Girisekar, kecamatan Panggang, kabupaten Gunung Kidul. Sumur tersebut dulunya merupakan sumber penghidupan dari sejak zaman dahulu hingga sekarang untuk desa Girisekar maupun desa lainnya. 

KEMBANG LAMPIR



Kembang Lampir atau biasa disebut Mbang Lampir ini merupakan obyek wisata yang digunakan untuk bertapa, dengan maksud berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dikabulkan segala permintaannya.

Kembang Lampir terletak di Dusun Blimbing, Kelurahan Giri Sekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Mbang Lampir ini diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono pada tahun 1976. Di pertapaan Mbang Lampir ini terdapat bagian tanah yang dipagar oleh kayu yang merupakan petilasan untuk bertapa. Kayu tersebut dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono ke IX sejak tahun 1982 dan sampai sekarang belum ada renovasi lebih lanjut dari kesultanan. Mbang Lampir ini berada diatas bukit, jika ingin melakukan pertapaan di Mbang Lampir ini, harus menaiki tangga hingga sampai di joglo pertaapaan depan petilasan Ki Ageng Pemanahan tersebut. Pada saat  menaiki tangga, dapat menjumpai dua joglo peristirahatan untuk bertapa yang berada di sebelah kanan dan kiri tangga. 

Pada masa kerajaan Pajang pada kurang lebih tahun 1546-1587 raja Pajang yaitu Sultan Hadi Wijaya mengutus ki Ageng Pemanahan dan Panjawi untuk dapat menumpak serta mengalahkan Ario Panangsang dari Jipang, dari babad tanah JAwi. Setelah mereka dapat mengalahkan Ario Panangsang, sebagai hadiahnya Ki Ageng Pemanahan mendapat bagian tanah (tlatah) yang masih berupa hutan, dan Ki Ageng Panjawi mendapat bagian tanah yang sudah ramai yaitu Pati. Menurut buku Babad Tanah Jawi, pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya tidak lepas dari tokoh seorang Wali Allah yang dikeramatkan, yaitu Sunan Kali jaga (RM.Said). Sunan Kali Jaga sebagai sesepuh atau sebagai penasehat yang setiap saat tempat untuk meminta pertimbangan akan segala bentuk persoalan dari Sultan maupun kerabat Kerajaan.

Di kala janji dan sabda dari seorang Sultan atau Raja yang akan memberikan hadiah kepada Ki Ageng Pemanahan, adanya selalu tertunda dan Sultan pun selalu mencari-cari dalih dikarenakan Sultan Hadiwijaya mengetahui ramalan dari Sunan Kali Jaga, Pada saat itu Sunan sedang berdakwah (Si’ar) Agama ke wilayah selatan tlatah Pajang. Bahwasanya hutan ini (Hutan Mentaok) nantinya akan ada Kerjaan besar, serta Rajanya yang menurunkan Raja-Raja atau pemimpin Nusantara.Untuk itu Sultan Hadi wijaya dengan dalihnya selalu menunda-nunda pemberian hadiah kepada Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan merasa kecewa atas janji dan perlakuan Sultan Hadi Wijaya kepada dirinya. Untuk itu Ki Ageng Pemanahan memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kota Raja Pajang untuk bertafaqur / bersemedi / bertapa/ berdoa/ meminta kepada Tuhan agar apa yang dicita-citakan dikabulkan dan mendapat izin serta barokah. Pergilah Ki Ageng Pemanahan ke arah Pegunungan Seribu (Gunung Kidul) disertai kerabat dan sahabatnya, yaitu Ki Ageng Juru Mertani dan Ki Ageng Butuh. Sampailah ketiga bersaudara ini di suatu bukit kecil bebatuan dan di situ yang disebut bukit atau Gunung Kidul. Dahulu pada daerah gunung kidul ini ada pohon besar yang tumbuh yang dinamakan pohon wegik. Kemudian pada suatu saat di pertapaan mbang lampir ini tumbuhlah pohon yang merupakan patahan kayu dari pohon wegik tersebut. Lalu pada ranting yang paling atas ditemukan Mahkuto Rojo atau dalam yang disebut Mahkota Raja, yang terbuat dari tanah liat yang biasanya dipakai oleh raja-raja besar. Pada saat itulah dinamakan kembang semampir, atau biasa disebut kembang lampir.

Diatas petilasan terdapat sebuah rumah untuk tempat menyimpan pusaka-pusaka. Namun rumah tersebut tidak dibuka untuk umum, namun melainkan hanya untuk orang-orang abdi dalem dan Sri Sultan Hamengkubuwono saja. Hal tersebut dikarenakan untuk menjaga keaslian pusaka tersebut.

PENDAHULUAN



Apakah anda tahu yang dimaksud Desa Wisata Budaya?
Desa Wisata Budaya adalah Desa Wisata yang berbasis Budaya.
Desa Wisata Budaya adalah wahana sekelompok manusia yang melakukan aktivitas budaya yang mengekspresikan sistem kepercayaan (religi), sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, sistem komunikasi,  sistem sosial, dan sistem lingkungan, tata ruang, dan arsitektur dengan mengaktualisasikan kekayaan potensinya dan menkonservasikannya dengan saksama atas kekayaan budaya yang dimilikinya. Terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertujukan, kerajinan, dan tata ruang dan arsitektural.
Desa Wisata Budaya Girisekar adalah salah satunya. Desa yang terletak di kelurahan Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Arah Selatan dari kota Yogyakarta sekitar 38km. Desa yang masih kental dengan alam yang asri dan budaya asli daerah tersebut sayang sekali bila terlewatkan. 
Desa terdiri dari beberapa Padukuhan (Dusun). Padukuhan Blimbing adalah salah satu Padukuhan yang berada di kawasan Desa Wisata Budaya Girisekar.